Jumat, Desember 16, 2005

Sistem Budaya Pada Masyarakat Wulangsari

Secara garis besar hal-hal yang akan dibahas pada karya tulis ini adalah mengenai unsur – unsur universal kebudayaan yang dalam bukunya Koentjaraningrat menjelaskan atau menyebutkan ketujuh unsur tersebut seperti tertulis di awal.

Bahasa
Dalam kebudayaan, bahasa merupakan salah satu unsur yang penting. Budaya dan bahasa memiliki keterkaitan yang cukup erat, dimana bahasa merupakan alat yang digunakan untuk mempelajari dan mewariskan kebudayaan bagi setiap manusia. Sejak kecil anak sudah diperkenalkan dengan berbagai bahasa, baik bahasa isyarat maupun bahasa vocal. Bahasa ini kemudian akan sering kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari, yaitu berbicara. Kebutuhan akan kemampuan berbahasa berjalan seiringan dengan kebutuhan manusia untuk berinteraksi social dengan sesamanya. Syarat untuk terjadinya interaksi social tersebut adalah dengan adanya kontak dan komunikasi. Bahasa inilah yang kemudian digunakan sebagai alat untuk berkomunikasi dan melakukan kontak social tersebut.
Kemampuan berbahasa seseorang juga akan memberikan citra tersendiri bagi dirinya. Dalam artian bahwa ketika bahasa yang digunakannya dalam kehidupan sehari-hari baik dan sopan, maka orang lain pun akan memberikan penghargaan yang sama. Namun bukan berarti bahwa tindakannya juga akan sesuai dengan bicaranya atau bahasanya. Bukankah ada istilah bahwa lain di mulut lain di hati. Selain itu, kemampuan dalam berbahasa juga bisa memberikan dampak yang negative. Pernah dengar istilah mulut mu adalah maut mu ? setidaknya ini menunjukkan bahwa kita harus pandai-pandai menjaga pembicaraan atau perkataan yang keluar dari mulut kita.
Bahasa yang digunakan oleh masyarakat Wulangsari adalah bahasa Sunda. Sama dengan daerah-daerah yang lainnya (dalam lingkup kecamatan Malingping) yang juga menggunakan bahasa sunda sebagai bahasa sehari-harinya. Hal ini menunjukkan bahwa daerah Wualngsari merupakan bagian dari suku sunda. Menurut orang-orang di luar Banten, bahasa yang digunakan oleh masyarakat Wulangsari ini adalah bahasa sunda kasar. Padahal menurut mereka (masyarakat Wulangsari), bahasa yang digunakan tidak seperti apa yang diungkapkan tadi. Dalam hal ini, penulis melihat adanya perbedaan makna kata dan juga intonasinya inilah yang menyebabkan adanya anggapan tersebut. Hal ini juga menunjukkan bahwa kebudayaan setiap daerah berbeda-beda sesuai dengan perkembangannya. Pada kehidupan sehari-hari, bahasa sunda yang halus juga sering digunakan, terutama ketika berbicara dengan orang yang lebih tua atau yang dihormati. Selain bahasa sunda, ada juga sekelompok masyarakat yang menggunakan bahasa daerahnya masing-masing, seperti bahasa padang dan jawa. Akan tetapi bahasa tersebut hanya digunakan ketika berbicara dengan komunitasnya sendiri.

Sistem Sosial
Kajian sistem sosial selalu tidak terlepas dari adanya interaksi sosial dalam kahidupan manusia, terutama keluarga sebagai unit sosial yang terkecil. Hal ini juga didasarkan pada kodrat manusia sebagai makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri. Dalam sistem sosial ini, terdapat juga pengaturan tentang perkawinan, tempat tinggal dan sistem kekerabatan yang mana semua hal tadi akan membentuk suatu interaksi sosial diantara sesama manusia. Keluarga mengatur jaringan sosial antar individu berdasarkan perkawinan, yang kemudian akan berlanjut ke tahap pemilihan tempat tinggal, dan berpengaruh terhadap sistem kekerabatan.
Dalam kehidupan sosial masyarakat Wulangsari, sistem perkawinan tidak mempunyai aturan yang khusus, seperti eksogami atau endogami. Pada dasarnya perkawinan dilakukan atas dasar suka sama suka. Perkawinan yang dilakukan pun didasarkan pada aturan agama yang berlaku dan yang diharuskan oleh pemerintah atau sesuai dengan aturan pemerintah.
Setelah menikah pun, pasangan tersebut bebas menentukan untuk tinggal dimana, apakah itu di pihak laki-laki atau di pihak perempuan, dalam kata lain bersifat Ambilokal, atau pasangan yang baru menikah tersebut tinggal di rumahnya sendiri terpisah dengan orang tuanya masing-masing. Biasanya hal yang terakhir ini terjadi ketika kehidupan mereka sudah mapan.
Sistem kekerabatan yang ada di wulangsari ini, sama halnya dengan kehidupan di desa-desa lainnya. Dimana, jika dirunut asal usulnya pasti masih satu keturunan atau keluarga. Dalam artian bahwa satu rumah dengan rumah lainnya merupakan saudara.
to be continued

Malingping

Malingping merupakan salah satu kecamatan di bagian selatan Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Seperti halnya di daerah-daerah lain, kecamatan dibagian selatan Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, itu ditandai dengan berdirinya lembaga-lembaga pemerintahan, antara lain kantor kecamatan, kantor kepolisian sektor (Polsek), dan lain-lain. Kedua kantor itu menghadap ke alun-alun yang terdapat pohon asem tua. Pohon asem itulah yang kemudian mengilhami Tim Investigasi kasus Peledakan Bom Bali 1 dalam memberi identitas jaringan kelompok imam samudra di Malingping dengan sebutan „kelompok Asem“. Disebelah barat alun-alun , berdiri Masjid Baiturachim yang setiap pekannya diadakan pengajian rutin. disamping kiri kantor kecamatan, terdapat kantor Telekomunikasi yang sering digunakan oleh masyarakat sekitar untuk melakukan hubungan komunikasi lewat saluran telephone. Tepat di depan pohon asem terdapat lapangan basket yang dipakai latihan para pemuda Malingping di pagi dan sore hari. Sering juga diselenggarakan pertandingan Basket Ball, biasanya ketika bulan Agustus.
Tidak jauh dari kantor lembaga-lembaga pemerintahan itu, sebuah pasar selalu ramai dengan penjual dan pembeli. Seperti juga pasar-pasar lain di pinggir jalan raya, aktivitas perdagangan di pasar Malingping ini sering melebar hingga memenuhi bahu jalan. Tak jarang pasar tumpah itu juga menimbulkan kemacetan meski hanya kecil. Puluhan ojek berjajar di sepanjang pinggir jalan sekitar pasar lama, tepatnya di pertigaan jalan Malingping atau masyarakat sekitar biasa menyebutnya Parapatan. Barang yang diperdagangkan mencakup sembako atau barang kebutuhan sehari-hari dan barang lainnya seperti elektronik dan bahan bangunan.
Secara geografis, Kecamatan Malingping terletak di Wilayah Provinsi Banten, tepatnya di sebelah selatan ibukota Kabupaten Lebak. Menurut keadaan alam, pada umumnya merupakan wilayah pantai dan sebagian lagi adalah daerah persawahan dengan iklim atau musim yang berlaku hanya dua yaitu hujan dan kemarau. Sedangkan cuacanya terbilang panas. Wilayah Kecamatan Malingping ini merupakan salah satu kecamtan dari 28 kecamatan yang ada di wilayah kabupaten DT II Lebak. Untuk masuk Malingping, ada tiga jalan utama, yaitu pertama dari Pandeglang melalui Saketi dan Kadupandak, kedua dari Rangkasbitung melalui Gunung Kencana dan Gunung Kendeng, dan ketiga dari Pelabuhan Ratu melalui Cilangkahan. Wilayah Malingping diapit Samudera Hindia dan Pegunungan Kendeng. Daerah ini juga berbatasan dengan Cijaku (sebelah utara), Samudera Hindia (sebelah Selatan), Kabupaten Pandeglang (sebelah Timur), dan Kecamatan Panggarangan dan Wanasalam (sebelah barat).
Dalam menjalankan pemerintahannya, Kecamatan Malingping membawahi beberapa desa, diantaranya yaitu Malingping Utara, Malingping Selatan, Rahong, Sanghiang, Sukaraja, Kersaratu, Kadujajar, Cilangkahan, Sukamanah, Pagelaran, Bolang dan lainnya. Di desa Malingping Utara inilah terdapat satu daerah yang bernama Wulangsari.
Tingkat pendidikan di Malingping ini terbilang tinggi, rata-rata lulusan SMA/sederajat. Ada pula yang menjadi sarjana. Selain itu, sarana pendidikan yang ada juga cukup mendukung. Itu kalau kita lihat di kotanya. Di daerah pedalamannya juga terdapat fasilitas pendidikan seperti sekolah, hanya saja kondisi yang sedikit berbeda dengan di kota, bangunan yang tersedia masih pas-pasan dan dapat dikatakan tidak layak pakai mengingat perkembangan zaman yang sudah sangat pesat. Jalan untuk mencapai daerah tersebut juga masih belum bagus, sehingga permasalahan yang terjadi adalah kekurangan tenaga pengajar. Berdasarkan informasi memang sekarang ini di daerah Malingping -khususnya- masih kekurangan tenaga pengajar. Perguruan tinggi pun sudah mulai bermunculan seperti jamur di musim hujan.
Seiring dengan tingkat pendidikan yang tinggi, tentu saja juga mempengaruhi tingkat pengetahuan yang dimiliki. Perkembangan teknologi pun masih bisa diikuti atau istilah lain mungkin bisa dikatakan tidak gaptek-gaptek teuing. Telephone selular sudah tersedia, komputer sudah lebih dulu masuk setelah media elektronik seperti Televisi dan Radio dapat dikonsumsi. Bukan berarti bahwa kehidupan di Malingping tenang-tenang saja, tanpa ada sisi gelapnya. Minuman Keras dan Narkoba juga sudah mulai menyebar dan dikonsumsi oleh sebagian pemuda di Malingping. Hal ini menunjukkan bahwa daerah Malingping ini merupakan daerah yang terbuka. Dalam artian bahwa budaya luarpun bisa masuk dan berkembang. Akan tetapi ini tidak lepas dari pengawasan aparat keamanan dan juga masyarakatnya. Beberapa kali terjadi pemusnahan masal Miras dan juga razia – razia obat terlarang. Akibatnya, mereka yang ingin mengkonsumsi barang haram tersebut biasanya secara sembunyi-sembunyi.
Tingkat kejahatan yang terjadi tidak terlalu sering. Pencurian kendaraan bermotor yang dominan. Tapi kejamnya lagi, yang punya kendaraannya itu kadang juga dibunuh secara keji. Mengingat memang daerah di Malingping banyak yang sepi-sepi dan rawan pencurian kendaraan bermotor. Bentrokan antar warga pun jarang terdengar, kecuali ada event-event khusus, seperti sepak bola. Tak jarang kedua team saling adu jotos dan memancing kemarahan supporternya, sehingga terjadilah bentrokan tersebut. Itu juga ga berlangsung lama, berkat kesigapan panpel dan aparat keamanan setempat.
Dalam sistem kepercayaan, sebagian besar masyarakat Malingping ini merupakan pemeluk agama Islam. Ada beberapa keluarga saja yang non-Islam, biasanya mereka warga pendatang. Kegiatan-kegiatan keagamaan sering dilakukan. Misalnya ceramah, pengajian, tarawih, takbiran dan lainnya. Sedangkan untuk kegiatan keagamaan lainnya, tidak pernah dilakukan secara besar-besaran, mengingat prosentase golongan non-islam sangat sedikit dibanding Muslim. Seiring dengan perkembangan pendidikannya, mulai muncul sebuah organisasi berbasis Islam dan beraroma pendidikan, yaitu Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia komisariat Lebak Selatan (KAMMI Komsat Lebak Selatan).Satu hal yang menarik, yaitu walaupun sangat memegang kuat agamanya, akan tetapi masih juga sering percaya terhadap mitos-mitos dan kekuatan spiritual. Kekuatan ini biasanya dipakai pada saat pertandingan olah raga. Jadi ketika bertanding, unsur non teknis ini kadang menjadi penentu hasil pertandingan tersebut. Siapa yang „kuat“ maka ia lah yang jadi pemenang.
Sebenarnya masih banyak hal-hal lainnya mengenai daerah Malingping ini, dan semoga dimasa yang akan datang atau bahkan saat ini, tumbuh dalam diri kita semua keinginan untuk mengkaji lebih dalam lagi mengenai hal tersebut. Atau mungkin temen2 sudah ada keinginan kearah sana? Wujudkan itu! Jangan hanya menjadi angan – angan belaka. Sepakat ya...!