Minggu, Januari 15, 2012

Wisata Sejarah di Banten Lama


Oleh

Abu Fathia

Sore itu aku baru saja beres mengikuti perkuliahan. Cuaca yang teduh tapi tetap terasa panas. Ya…Kota Serang memang selalu berhawa panas. Bahkan saat malam hari pun, aku harus menghidupkan kipas angin agar tidak kegerahan. Itupula yang sedang kulakukan sekarang. Pakaian batik masih menempel di tubuhku, hanya beberapa kancing bagian atasnya yang terbuka. Aku tergeletak pasrah ditiup oleh semilir angin yang dihembuskan putaran kipas di depanku.

Sebenarnya mata ini berusaha terpejam, ingin istirahat. Tapi tak jua masuk ke alam mimpi.

“Wiih….dah pulang boy? Beres tah kuliahnya?” tanya Isal yang baru saja selesai mandi.

“Hmmm…..” jawabku.

“Jangan tidur wae atuh boyy….mending jalan – jalan ihhh….” Isal coba menggodaku.

Mataku terbuka. Menarik juga apa yang dikatakan oleh Isal. Sekian lama aku kuliah di Ibukota Provinsi Banten ini, belum sekalipun aku menikmati jejees. Maklum, jadwal kuliahku biasanya sampai setengah enam, hingga tak ada waktu untuk menikmati itu. Kini, dosennya berhalangan untuk hadir, hanya titipan tugas yang membuat kepulangan kami agak terhambat. Tapi itu juga berarti bahwa aku bisa pulang lebih awal, dan bisa menikmati kota Serang di sore hari.

“Kemana???” tanyaku yang mulai terpancing.

“Banten lama yuuu…….katanya kamu pengen ke sana…kan belum pernah terwujud tuh….” Saran Isal. Aku terperanjat kemudian tersenyum.

“Siippp….wokehlah kalo begitu. Ayo kita meluncur ke sana…..” kataku sembari beranjak menuju kamar mandi. Cuci muka, ganti pakaian dan berangkatlah menuju ke Banten Lama, melihat – lihat patilasan Kerajaan Banten.

***

Revi kuning meluncur dengan perlahan menyusuri lekak lekuk kota Serang. Arus lalu lintas lumayan ramai. Hilir mudik kendaraan cukup padat, dari mulai kendaraan besar roda enam (truk), roda empat, roda dua, hingga roda dua klasik (sepeda). Kami harus hati – hati. Juga pada penyeberang jalan yang kadang se-enaknya saja melintasi jalan yang kami lalui.

Oia, lupa. Kostan kami berada di daerah Secang, Pasar Rau. Untuk menuju ke Banten Lama kami mengambil jalur melewati kompleks pasar Rau, Pasar lama, Kasemen dan tibalah di kawasan Banten Lama.

Kurang lebih 20 menit waktu yang diperlukan dari Kostan kami untuk mencapai daerah Banten Lama ini. Sepanjang jalan, Isal bercerita tentang beberapa daerah yang kami lewati, termasuk daerah yang telah aku sebutkan diatas. Hingga tak terasa, sampailah kami di daerah Banten Lama. Sebuah plang bertuliskan ucapan selamat datang di daerah wisata Banten lama menyambut kedatangan kami.

“Nah ini reruntuhan bekas Keraton Surosowan” kata Isal sembari menolehkan wajahnya ke sebelah kiri. Sebuah pagar dinding yang cukup panjang berdiri kokoh mengelilingi satu bagian yang Isal menyebutnya sebagai Keraton Surosowan.

“Ohh…..” kataku sambil mengangguk – ngangguk.

“Mau ke sini dulu??” tanya Isal.

“Kalo Mesjid Agung Banten dimana?” aku balik bertanya.

“Masjid ke sebelah sana lagi” jawab Isal sambil mengarahkan telunjuknya ke tempat yang dimaksud.

“Ke Masjid saja dulu, nanti baru ke sini” kataku. Isal mengangguk. Dan My Yellow Revi pun meluncur ke arah Mesjid Agung. Perlahan tapi pasti, menara Mesjid mulai terlihat. Aku berdecak kagum

Bangunan Mesjid Agung Banten

Sumber foto : Doc. Pribadi

“Subhanallah….akhirnya aku ke sini juga” kataku dalam hati. Sudah sejak lama aku ingin berkunjung ke Masjid Agung Banten. Bagiku, Masjid Agung Banten adalah paduan antara Keagungan Rumah Tuhan dengan Kejayaan Kerajaan Banten. Masjid juga simbol penghambaan manusia kepada Tuhannya. Orang Banten kan terkenal kuat agamanya, dan masjid ini bisa jadi merupakan salah satu buktinya. Kemegahan yang dimiliki oleh Masjid Agung Banten juga menegaskan kebesaran dari Kerajaan Banten.

Setelah memarkirkan kendaraan, aku dan Isal berjalan menuju Masjid Agung Banten.

“Nah, inilah Masjid Agung Banten boyy….” Kata Isal. Aku tersenyum.

“Masjid ini benar – benar megah dan luas” kataku dalam hati.

“Mesjid ini terdiri dari beberapa bagian” kata Isal lagi.

“Apa saja?” tanyaku.

“Ada makamnya, ada tempat senjata kuno, dan itu tentu saja ada menaranya hehehe” kata Isal.

“Owhh….” Kataku. Aku dan Isal kemudian berjalan masuk ke area masjid Agung. Kami masuk melalui pintu kecil di sebelah selatan, yang juga menjadi pintu penghubung dengan kawasan pasar. Tepat di hadapan kami saat masuk adalah seperi sebuah kolam yang saat itu sedang asyik dinikmati oleh beberapa anak kecil. Menurut buku yang pernah aku baca, dulunya kolam itu berfungsi sebagai tempat bersuci, tapi melihat kondisi sekarang, sepertinya tidak mungkin masih berfungsi sama. Tepat di depan kolam itu, di bagian timur Masjid Agung, berdiri kokoh sebuah bangunan menjulang tinggi berwarna putih.

Menara Mesjid Agung Aku di Pintu Menara

Sumber foto : Doc. Pribadi

“Itu Menara Mesjid” Kata Isal sembari menunjuk pada bangunan yang dimaksud. Aku mengangguk. Isal menarik lenganku menuju ke tempat tersebut. Dari buku yang aku baca, tinggi menara ini kurang lebih 23 meter dari permukaan tanah. Bagian dasar menara berdenah segi delapan, dan itu berlaku juga bagi tubuhnya. Di sisi utara tubuh menara tersebut, terdapat pintu masuk.

“Yaahhh…..dikunci….” keluh Isal. “Biasanya ada yang jaga di sini, paling kita ngasih seribu juga dibolehin naik ke atas menara ini” lanjutnya.

Aku menengadah ke atas. Memoriku kembali mengingat apa yang telah kubaca mengenai menara ini. Kepala menara…..ya…itu sebutan untuk bagian paling atas dari menara ini. Terdiri dari dua tingkat yaitu tingkat pertama berbentuk kubah yang terpenggal dan tingkat kedua adalah kubah yang lebih kecil. Bagian paling atas dari kepala menara ini adalah puncak menara yang terdapat memolo atau mustoko berwarna merah hati yang dibuat dari tanah liat menyerupai bunga yang sedang mekar.

“Kalo kita bisa naik, maka kita bisa menikmati keindahan provinsi Banten dari atas menara itu” kata Isal. Aku mengangguk saja.

“Kalo makam dimana??” tanyaku.

“ Oh…itu dibagian dalam, mau sekalian ziarah??” isal balik bertanya. Aku menggeleng.

“Lihat aja yu…” ajakku. Isal mengangguk. Dan kami pun berjalan menuju tempat yang dimaksud. Pemakaman (tempat makam) tersebut berada di bagian Selatan Masjid Agung, bersebelahan dengan museum mini tempat menyimpan alat – alat kuno. Ada juga beberapa senjata kuno yang tersimpan di sana. Pintu masuk pun berada di museum tersebut.

Bangunan Museum_Pintu Masuk menuju Makam

Sumber foto : Doc. Pribadi

Aku dan Isal melangkahkan kaki menuju tempat makam, dan ternyata sedang ada sekelompok orang yang berziarah. Seorang penjaga menghampiri kami kemudian bertanya “Mau ziarah?”. Dan kami serempak menggeleng sambil tersenyum. Aku tidak terlalu tertarik pada acara ziarah, justru lebih tertarik untuk melihat – lihat isi dari museum ini. Ada museum di kompleks Masjid, isinya apa saja ya kira – kira?? Pertanyaan itu yang muncul dibenakku. Sayang…tak ada jawaban, sebab juru kunci museum itu sedang tidak ada, sehingga kami tidak bisa masuk untuk melihat lebih jelas isi dari museum tersebut.

Oia…di sekitar masjid nampak tersedia tempat – tempat para pedagang. Bahkan hampir menyerupai komplek pasar. Waktu aku berkunjung ke sana tidak banyak pedagang yang berjualan, maklum bukan waktunya orang – orang berkunjung ke Masjid Agung. Hanya beberapa pedagang saja yang tetap membuka lapak dagangannya. Beragam barang yang mereka jual, ada makanan, pakaian, alat beribadah, dan ada juga yang menyediakan penukaran uang recehan. Sebab katanya, kalo sedang waktu kunjungan, banyak para pengemis yang berkeliaran di sekitar Masjid.

Aneka Barang Yang Diperdagangkan

Sumber foto : Doc. Pribadi

Waktu beranjak begitu cepat. Matahari semakin rendah di ufuk barat. Aku melirik pergelangan tangan. Masih ada waktu kurang lebih satu jam menuju Magrib. Sementara itu, masih ada dua tempat yang hendak dikunjungi. Akhirnya, Masjid Agung Banten kami tinggalkan, untuk menuju ke tempat berikutnya yaitu Museum Situs Kepurbakalaan Banten Lama.

Jarak antara Masjid Agung Banten dengan Museum Situs Kepurbakalaan Banten Lama (selanjutnya akan disebut Museum SKBL), tidak begitu jauh. Hanya keluar dari kompleks Masjid Agung, kemudian berbelok sedikit tibalah di Museum SKBL.

Sayangnya, waktu sudah terlalu sore, sehingga Museum sudah tutup. Itu artinya aku tak bisa menikmati benda – benda peninggalan sejarah yang ada di dalam Museum Banten. Hanya ada beberapa benda yang di simpan di luar, diantaranya yaitu sebuah Meriam yang bernama Ki Amuk, batu berbentuk bulat yang digunakan untuk menghaluskan lada, dan satu buah batu berbentuk kotak yang biasa digunakan sebagai alas untuk menempa senjata.

Meriam Ki Amuk Batu Penggiling Lada Batu Penempa

Sumber Foto : Doc. Pribadi

Keasyikanku di museum SKBL ini tidak berlangsung lama, sebab waktu semakin sore. Akhirnya aku dan Isal memutuskan untuk meninggalkan Museum dan beranjak pulang.

Di perjalanan pulang aku menyempatkan diri untuk masuk ke Reruntuhan Keraton Surosowan yang dulunya merupakan bangunan tempat tinggal raja dan keluarganya.

“Wahh…..luas banget ya….” kataku saat memasuki kawasan reruntuhan keraton.

“ Iya….hampir 3 hektar luasnya” kata Isal.

“Keraton ini dibangun sekitar abad ke 16, kemungkinan pada masa Sultan Maulana Hasanudin. Dinding itu berfungsi sebagai pelindung bangunan yang ada di dalamnya” kataku sambil menunjuk ke arah dinding yang melingkupi kawasan keraton.

“Semacam benteng ya…” tegas Isal. Aku mengangguk.

“Dinding itu dibuat dari bata dan batu karang yang direkatkan oleh campuran pasir, semen dan kapur. Sangat kuat……tuh, sekarang pun masih berdiri kokoh” kataku lagi.

“Yupss…sayang…keratonnya hanya tinggal puing reruntuhannya saja” kata Isal.

“Ya…Keraton ini terakhir kali dihancurkan oleh Daendels” kata ku. Saat berada di lingkungan keraton tersebut, imajinasiku bekerja, membayangkan betapa indahnya keraton Surosowan ini dahulu. Terbayang juga perjuangan para penghuninya dalam mempertahankan dari serangan penjajah.

Kini, Keraton tinggal menyisakan puing – puingnya saja. Sisa bangunan yang ada berupa pondasi, dan tembok – tembok dinding yang sudah hancur, sisa bangunan petirtaan dan bekas kolam taman dengan bangunan Bale Kambang. Ya….Orang – orangnya sudah mati, tapi puing bangunan ini yang bercerita tentang kehebatan mereka dahulu. Tentang kejayaan Banten tempo dulu.

Waktu berjalan tak mengenal berhenti. Matahari semakin merendah, sinarnya tak lagi seterang waktu siang. Senja mulai merekah. Malam mulai tiba. Perjalanan kami harus berakhir. Padahal, masih banyak peninggalan Kerajaan Banten lainnya yang belum kami kunjungi.

“Mungkin lain kali dan harus menyempatkan untuk wisata Sejarah!!!” begitu tekadku.

Betapa jujur pengakuan zaman

Ketika kenangan tinggal puing

Dan Sejarah hanya tinggal cerita

Tapi masih ada yang tersisa

Puing Reruntuhan kota dan artefak

Memberi kesaksian akan peradaban masa silam

Perjalanan panjang sejarah umat manusia

Memberi pelajaran untuk berfikir, bertindak dan berperilaku bijak

Historia Magistra Vitae

---Dan Wild (dengan sedikit gubahan)---