Senin, Desember 31, 2012

Saya dan Habibie


Dulu, saat orang ditanya tentang apa yang terpikirkan ketika mendengar nama Pak Habibi, maka mayoritas pasti menjawab pesawat terbang, mantan Presiden RI, mantan Menristek, atau  kecil tapi cerdas, atau juga Bapak Teknologi Indonesia. Bagi mereka yang tidak suka terhadap masa kepemimpinan beliau mungkin akan menjawab penyebab lepasnya Timor Leste (dulu Timor Timur).
Andaikata pertanyaan itu diberikan pada saya, jawaban yang sama akan terucap dari mulut saya. Pertama kali mengenal (mendengar namanya) pak Habibi itu saat SD, saat beliau menjabat sebagai Menristek. Waktu itu sangat terkenal sekali dengan proyek Pesawat Gatotkaca N250. Betapa bangganya Indonesia saat itu karena mampu menciptakan pesawat terbang sendiri. Habibi sendiri kemudian menyebutnya sebagai hasil karya anak bangsa, putra – putri indonesia. Saya juga bangga tentu saja. Meski pada saat itu (kurang lebih usia 8 tahun) yang saya tau mereka bangga karena mampu membuat benda yang bisa terbang, yang apabila melintas di atas rumah, dengan penuh kebanggaan saya berteriak sekuat tenaga “Kapaaaaallll menta duittttttt!!!”. Setidaknya itu makna kebanggan bagi saya saat itu.


Perkenalan dengan Habibi tidak berhenti sampai disitu, melainkan terus berlanjut hingga saya duduk di bangku SMP. Dua tahun di SMP, nama beliau masih “mejeng” di jajaran Menteri. Baru kemudian menjelang akhir tahun ajaran di kelas 3 beliau “naek jabatan” jadi Presiden. Carut marutnya kondisi Indonesia saat itu masih belum dipahami oleh saya. Tak mengerti tentang inflasi, tak mengerti tujuan mahasiswa melakukan demonstrasi, tak mengalami pula konflik yang berujung pada kekerasan. Hanya satu yang ngetrend saat itu yang dapat dimengerti oleh saya, yaitu kata “KrisMon”. Saya tau bahwa di Indonesia saat itu memang sedang trend nya KrisMon. Adapun yang saya tau, KrisMon disini berarti “Krisdayanti Mon***”. Entah dengan inflasi harga, kurs rupiah yang melemah atau konflik yang lain, sebab disatu sisi adanya KrisMon justru malah membahagiakan bagi saya, Uang Saku jadi naik!!!


Barulah setelah masuk SMA, nama Habibie makin sering didengar, terutama dikaitkan dengan berdirinya sebuah negara baru di Tenggara Indonesia yaitu Timor Leste.  Beragam sebutan pun “disematkan” pada sosok beliau. Antek orde baru lah, pendukung disintegrasi lah, dan sebutan-sebutan lain yang bernada sinis. Masa pemerintahannya dianggap gagal, karena tak mampu menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Kabinet Reformasi yang dibentuk, masih dianggap “berbau” orde baru, yang pada saat itu Orde Baru seolah racun yang musti segera dimusnahkan hingga ke akar-akarnya. Namun satu hal yang tetap tersimpan dalam benak saya, bahwa bagaimanapun juga Habibie adalah sosok yang spesial .


Saat duduk di bangku kuliah, interaksi dengan sosok Habibie lebih intensif dibanding saat SMA. Maklum, satu mata kuliah full membahas Periode Orde Baru dan Reformasi, yang di dalamnya terdapat peran serta beliau. Diskusi-diskusi ringan juga sering dilakukan, meski terkadang lebih sering “Debat Kusir” daripada diskusi serius. Pemahaman lebih mendalam juga dirasakan ketika membahas tentang Berhasil atau Tidaknya masa kepemimpinan beliau. Berbagai sudut pandang yang digunakan sebagai acuan dalam memberikan argumen, menambah pemahaman bahwa sebuah peristiwa itu tak bisa hanya dilihat dari satu aspek saja.  Satu hal yang harus dipahami adalah pemerintahan Habibie adalah pemerintahan peralihan dari Orde Baru menuju Reformasi. Bukan perkara yang mudah untuk mewujudkan agenda reformasi yang diusung oleh mahasiswa, hanya dalam periode peralihan sebagaimana yang dialami oleh Habibie.


Lepas masa pemerintahannya, nama Habibie tak tenggelam ditelan zaman. Terus menerus menjadi pembahasan di kalangan akademisi. Hingga kemudian, persepsi orang tentang Habibie menjadi bertambah seiring dengan “terpisahnya” Habibie dengan wanita pujaan hatinya, Hasri Ainun Habibie (Ainun). Minggu terakhir di bulan Mei tahun 2010, mantan Ibu Negara tahun 1998-1999 ini, berpulang ke rahmatullah. Indonesia dirundung duka!!! saya sendiri turut merinding mengiringi kepergian istri tercinta dari pak Habibie ini, meski hanya mengikuti dari layar kaca.


Meninggalnya bu Ainun, ternyata membuka mata saya (dan mungkin juga yang lainnya), tentang sosok lain dari Habibie, terutama dalam hal ini adalah mengenai kehidupan rumah tangga mereka (Habibie dan Ainun-H&A). Beberapa hari setelah bu Ainun pergi, menyebar di media elektronik tentang Surat Cinta Habibie untuk bu Ainun. Mengharukan!!! setidaknya itu yang saya rasakan saat membacanya. Betapa indahnya alur yang dilalui oleh H & A, betapa besarnya rasa cinta diantara mereka, betapa berartinya hidup mereka untuk satu sama lainnya. Beragam kenangan yang telah dilalui oleh H & A, rasanya teramat sayang untuk dilupakan begitu saja. 48 tahun mahligai rumah tangga yang telah dijalani bersama, telah begitu erat mengikat mereka. Hingga saat satu pergi, otomatis yang tertinggal akan merasa sangat kehilangan. Begitu juga yang dirasakan oleh Habibie.


Rasa kehilangan yang teramat dalam sungguh tak bisa diabaikan begitu saja oleh Habibie. Di tengah kondisi fisiknya yang juga mulai melemah, kini psikis nya juga harus merasakan hal yang sama. Bu Ainun adalah segalanya bagi Pak Habibie, saat Ia (Ainun) pergi, apakah segalanya masih berarti bagi pak Habibie?. Mungkin kalau kata anak zaman sekarang, saat itu pak Habibie sedang didera oleh Galau tingkat akut, entah sudah stadium keberapa. Andai saja tak memiliki pondasi keimanan yang kuat, mungkin jalan pintas yang buruk akan ditempuh olehnya.


Rasa sayang yang begitu besar pada bu Ainun, memberi inspirasi pada Pak Habibie untuk mencurahkan masa-masa indah saat bersamanya dalam sebuah tulisan. Enam bulan kemudian (November 2010), Hasri Ainun Habibie, kembali “hidup” dalam bentuk cerita. Adalah pak Habibie sendiri yang menulis tentang kisah hidupnya bersama bu Ainun, sejak pertemuan pertama, hingga kebersamaan terakhir. Ternyata, kisah hidup tersebut sangat disukai oleh masyarakat, hingga dipenghujung tahun 2012, kisah tersebut diangkat ke layar lebar. Meski belum ada pernyataan resmi, bolehlah saya menyatakan lebih dulu bahwa film Habibie & Ainun, merupakan film yang sukses.


Adalah kebahagiaan bagi saya yang dipenghujung tahun 2012 bisa kembali berinteraksi dengan Pak Habibie melalui buku dan film nya tersebut. Semakin bahagia, sebab menikmati kedua bagian tersebut bersama sosok yang diharapkan menjadi “Ainun” dalam kehidupan saya. Semoga......


Oia, persepsi saya tentang sosok Habibie pun bertambah. Tidak hanya memandang dari sudut pandang politis, bukan hanya mengenal habibie sebagai presiden RI yang ke 3, tapi dari sudut pandang sosial, sebagai Adam yang membutuhkan Hawa, sebagai suami dari seorang istri, sebagai ayah dari dua orang anak. Andai pertanyaan di awal kembali dimunculkan, maka jawaban saya akan semakin simple.


Habibie itu Idealis Romantis





@My room, Penghujung tahun 2012 , 23.00