Dulu, saat orang ditanya tentang apa yang terpikirkan ketika
mendengar nama Pak Habibi, maka mayoritas pasti menjawab pesawat terbang,
mantan Presiden RI, mantan Menristek, atau
kecil tapi cerdas, atau juga Bapak Teknologi Indonesia. Bagi mereka yang
tidak suka terhadap masa kepemimpinan beliau mungkin akan menjawab penyebab
lepasnya Timor Leste (dulu Timor Timur).
Andaikata pertanyaan itu diberikan pada saya, jawaban yang
sama akan terucap dari mulut saya. Pertama kali mengenal (mendengar namanya)
pak Habibi itu saat SD, saat beliau menjabat sebagai Menristek. Waktu itu
sangat terkenal sekali dengan proyek Pesawat Gatotkaca N250. Betapa bangganya
Indonesia saat itu karena mampu menciptakan pesawat terbang sendiri. Habibi
sendiri kemudian menyebutnya sebagai hasil karya anak bangsa, putra – putri
indonesia. Saya juga bangga tentu saja. Meski pada saat itu (kurang lebih usia
8 tahun) yang saya tau mereka bangga karena mampu membuat benda yang bisa
terbang, yang apabila melintas di atas rumah, dengan penuh kebanggaan saya
berteriak sekuat tenaga “Kapaaaaallll menta duittttttt!!!”. Setidaknya itu
makna kebanggan bagi saya saat itu.
Perkenalan dengan Habibi tidak berhenti sampai disitu,
melainkan terus berlanjut hingga saya duduk di bangku SMP. Dua tahun di SMP,
nama beliau masih “mejeng” di jajaran Menteri. Baru kemudian menjelang akhir
tahun ajaran di kelas 3 beliau “naek jabatan” jadi Presiden. Carut marutnya
kondisi Indonesia saat itu masih belum dipahami oleh saya. Tak mengerti tentang
inflasi, tak mengerti tujuan mahasiswa melakukan demonstrasi, tak mengalami
pula konflik yang berujung pada kekerasan. Hanya satu yang ngetrend saat itu yang dapat dimengerti oleh saya, yaitu kata
“KrisMon”. Saya tau bahwa di Indonesia saat itu memang sedang trend nya
KrisMon. Adapun yang saya tau, KrisMon disini berarti “Krisdayanti Mon***”.
Entah dengan inflasi harga, kurs rupiah yang melemah atau konflik yang lain,
sebab disatu sisi adanya KrisMon justru malah membahagiakan bagi saya, Uang
Saku jadi naik!!!
Barulah setelah masuk SMA, nama Habibie makin sering
didengar, terutama dikaitkan dengan berdirinya sebuah negara baru di Tenggara
Indonesia yaitu Timor Leste. Beragam
sebutan pun “disematkan” pada sosok beliau. Antek orde baru lah, pendukung
disintegrasi lah, dan sebutan-sebutan lain yang bernada sinis. Masa
pemerintahannya dianggap gagal, karena tak mampu menjaga persatuan dan kesatuan
bangsa. Kabinet Reformasi yang dibentuk, masih dianggap “berbau” orde baru,
yang pada saat itu Orde Baru seolah racun yang musti segera dimusnahkan hingga
ke akar-akarnya. Namun satu hal yang tetap tersimpan dalam benak saya, bahwa
bagaimanapun juga Habibie adalah sosok yang spesial .
Saat duduk di bangku kuliah, interaksi dengan sosok Habibie
lebih intensif dibanding saat SMA. Maklum, satu mata kuliah full membahas
Periode Orde Baru dan Reformasi, yang di dalamnya terdapat peran serta beliau.
Diskusi-diskusi ringan juga sering dilakukan, meski terkadang lebih sering
“Debat Kusir” daripada diskusi serius. Pemahaman lebih mendalam juga dirasakan
ketika membahas tentang Berhasil atau Tidaknya masa kepemimpinan beliau.
Berbagai sudut pandang yang digunakan sebagai acuan dalam memberikan argumen,
menambah pemahaman bahwa sebuah peristiwa itu tak bisa hanya dilihat dari satu
aspek saja. Satu hal yang harus dipahami
adalah pemerintahan Habibie adalah pemerintahan peralihan dari Orde Baru menuju
Reformasi. Bukan perkara yang mudah untuk mewujudkan agenda reformasi yang
diusung oleh mahasiswa, hanya dalam periode peralihan sebagaimana yang dialami oleh
Habibie.
Lepas masa pemerintahannya, nama Habibie tak tenggelam
ditelan zaman. Terus menerus menjadi pembahasan di kalangan akademisi. Hingga
kemudian, persepsi orang tentang Habibie menjadi bertambah seiring dengan
“terpisahnya” Habibie dengan wanita pujaan hatinya, Hasri Ainun Habibie
(Ainun). Minggu terakhir di bulan Mei tahun 2010, mantan Ibu Negara tahun
1998-1999 ini, berpulang ke rahmatullah. Indonesia dirundung duka!!! saya
sendiri turut merinding mengiringi kepergian istri tercinta dari pak Habibie
ini, meski hanya mengikuti dari layar kaca.
Meninggalnya bu Ainun, ternyata membuka mata saya (dan
mungkin juga yang lainnya), tentang sosok lain dari Habibie, terutama dalam hal
ini adalah mengenai kehidupan rumah tangga mereka (Habibie dan Ainun-H&A).
Beberapa hari setelah bu Ainun pergi, menyebar di media elektronik tentang
Surat Cinta Habibie untuk bu Ainun. Mengharukan!!! setidaknya itu yang saya
rasakan saat membacanya. Betapa indahnya alur yang dilalui oleh H & A,
betapa besarnya rasa cinta diantara mereka, betapa berartinya hidup mereka
untuk satu sama lainnya. Beragam kenangan yang telah dilalui oleh H & A,
rasanya teramat sayang untuk dilupakan begitu saja. 48 tahun mahligai rumah
tangga yang telah dijalani bersama, telah begitu erat mengikat mereka. Hingga
saat satu pergi, otomatis yang tertinggal akan merasa sangat kehilangan. Begitu
juga yang dirasakan oleh Habibie.
Rasa kehilangan yang teramat dalam sungguh tak bisa
diabaikan begitu saja oleh Habibie. Di tengah kondisi fisiknya yang juga mulai
melemah, kini psikis nya juga harus merasakan hal yang sama. Bu Ainun adalah
segalanya bagi Pak Habibie, saat Ia (Ainun) pergi, apakah segalanya masih
berarti bagi pak Habibie?. Mungkin kalau kata anak zaman sekarang, saat itu pak
Habibie sedang didera oleh Galau tingkat akut, entah sudah stadium keberapa.
Andai saja tak memiliki pondasi keimanan yang kuat, mungkin jalan pintas yang
buruk akan ditempuh olehnya.
Rasa sayang yang begitu besar pada bu Ainun, memberi
inspirasi pada Pak Habibie untuk mencurahkan masa-masa indah saat bersamanya
dalam sebuah tulisan. Enam bulan kemudian (November 2010), Hasri Ainun Habibie,
kembali “hidup” dalam bentuk cerita. Adalah pak Habibie sendiri yang menulis
tentang kisah hidupnya bersama bu Ainun, sejak pertemuan pertama, hingga
kebersamaan terakhir. Ternyata, kisah hidup tersebut sangat disukai oleh
masyarakat, hingga dipenghujung tahun 2012, kisah tersebut diangkat ke layar
lebar. Meski belum ada pernyataan resmi, bolehlah saya menyatakan lebih dulu
bahwa film Habibie & Ainun, merupakan film yang sukses.
Adalah kebahagiaan bagi saya yang dipenghujung tahun 2012
bisa kembali berinteraksi dengan Pak Habibie melalui buku dan film nya
tersebut. Semakin bahagia, sebab menikmati kedua bagian tersebut bersama sosok
yang diharapkan menjadi “Ainun” dalam kehidupan saya. Semoga......
Oia, persepsi saya tentang sosok Habibie pun bertambah.
Tidak hanya memandang dari sudut pandang politis, bukan hanya mengenal habibie
sebagai presiden RI yang ke 3, tapi dari sudut pandang sosial, sebagai Adam
yang membutuhkan Hawa, sebagai suami dari seorang istri, sebagai ayah dari dua
orang anak. Andai pertanyaan di awal kembali dimunculkan, maka jawaban saya
akan semakin simple.
Habibie itu Idealis
Romantis
@My room, Penghujung
tahun 2012 , 23.00
Tidak ada komentar:
Posting Komentar